“Disimpan dulu, bisa dipakai adiknya nanti” adalah kalimat yang sudah tidak asing bagi kebanyakan orang. Dalam paham orang tua zaman dulu, lebih baik membeli sesuatu yang bagus dan berkualitas agar dapat digunakan lagi oleh adik, sepupu, atau teman dekat. Paham tersebut kemudian diwariskan kepada anak cucu dan diaminkan oleh mayoritas masyarakat saat ini. Lantas mewujud menjadi sebuah tradisi yang tidak tercatat dalam nilai maupun norma kemasyarakatan.
Tradisi yang kemudian dikenal dengan istilah nglusur atau ngelungsur adalah bentuk perilaku berupa pewarisan pakaian, mainan, atau benda-benda yang sudah tidak digunakan tetapi masih bagus dan bermanfaat. Tradisi ini sudah banyak dilakukan di pelbagai daerah dan oleh beragam lapisan masyarakat. Tak terkecuali atas papan atas, seperti Sarwendah, Nikita Willy, dan Nadine Chandrawinata.

Tradisi ini pun sudah diyakini secara berjamaah akan mengantarkan seseorang ke dalam tabiat kedisiplinan hidup irit nan hemat. Senyampang daripada itu, prinsip ini sejatinya juga mengantarkan individu pada sebuah pola hidup berkelanjutan atau sustainable living. Sustainable living didefinisikan sebagai sebuah praktik dalam pembuatan gaya hidup berkesadaran untuk mengurangi dampak seseorang terhadap lingkungan (Maryville University, 2020). Lebih lanjut dijelaskan bahwa filosofi hidup ini bertujuan untuk mengurangi jejak karbon dan menjaga sumber daya bumi.

Dewasa ini, sustainable living menjadi penting daripada sebelumnya. Dengan hampir 8 miliar penduduk bumi, sustainable living membantu melestarikan planet bumi untuk generasi mendatang. Pola hidup ini juga mendorong dalam penciptaan kebiasaan lebih sehat dengan lebih sedikit menggunakan bahan bakar fosil, sehingga memperlambat proses perubahan iklim (Stein, 2024).

Pada penerapannya, sustainable living merupakan ihwal tanggung jawab bersama. Semua pihak memiliki peran setara dalam kontribusi hidup berkelanjutan serta melanggengkannya dalam komunitas hingga lintas generasi. Orang dewasa tentu memiliki kewajiban lebih dalam perannya mengajarkan dan membiasakan prinsip hidup seperti ini kepada anak-anak. Hal ini dapat dimulai sedini mungkin dari rumah.

Mewariskan pakaian anak merupakan cara terbaik yang dapat ditempuh dalam praktik sustainable living. Sayangnya, dalam praktik ini tidak banyak orang tua yang memberikan narasi ketika mewariskan pakaian dari anak sulung ke adiknya. Mengapa adik mengenakan pakaian kakak? Mengapa adik tidak dibelikan baru saja? Apakah adik harus selalu mengenakan pakaian lama kakak? – merupakan pertanyaan-pertanyaan yang perlu diantisipasi oleh setiap orang tua sebelum si adik bertanya langsung. Tanpa adanya narasi, akan ada potensi kesalahpahaman persepsi. Adik akan merasa selalu dinomorduakan & tidak seistimewa kakak yang selalu mendapat baru. Maka, pernyataan “masih bagus” apakah sudah cukup?

Hal tersebut sebenarnya memunculkan sebuah peluang untuk kita semua bersama-sama belajar, bahwasanya ada kesempatan mengajarkan nilai kehidupan yang lebih luhur kepada anak dibanding hanya mengenakan baju kakak dan mengatakan masih bagus.

Big book dengan judul “Jaket Biru” merupakan salah satu alternatif yang dapat menjawab peluang belajar tersebut. Dengan menggunakan big book dapat dilakukan kegiatan membaca bersama. Baik itu dilakukan secara klasikal di sekolah oleh guru bersama dengan siswa, ataupun oleh orang tua dan anak saat di rumah.

Big book dengan konsep belajar terbimbing memberikan ruang diskusi lebih luas dan mendalam antara pencerita dan penyimak. “Jaket Biru” dengan konsep sustainable fashion-pun dapat dimanfaatkan sebagai cara mengenalkan konsep hidup berkelanjutan dari segi fasyen kepada anak-anak.

Sustainable fashion dikenal sebagai upaya penggunaan pakaian yang menghormati lingkungan dan masyarakat tempat pemroduksian. Hal ini berarti dilakukan pula pertimbangan yang tidak hanya menyangkut produksi bahan mentah dalam kain, tetapi juga tempat dan cara pakaian diproduksi dan produsen pakaian tersebut (Aprayon, 2019).

Pencerita dapat memperkenalkan pengertian dan pemahaman pentingnya gaya fesyen yang berkelanjutan, serta dampak yang ditimbulkan, baik bagi individu, kelompok, maupun lingkungan. Dengan pembahasan yang demikian, tradisi nglusur / ngelungsur tidak sekadar memberikan baju yang masih bagus dan layak, tetapi akan menciptakan paham dalam diri anak bahwa ia sebenarnya turut berkontribusi menjaga kelestarian bumi. (mothy)

Referensi:

Artikel ini juga dipublikasi di laman berandainspirasi.id. Dapat diakses di https://berandainspirasi.id/big-book-sustainable-fashion-tak-sekadar-mewariskan-tapi-benar-benar-berkelanjutan/